Film animasi Merah Putih: Satu Untuk Semua, dirilis tepat sebelum perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 Indonesia, telah dengan cepat menjadi sasaran kritik publik. Dimaksudkan sebagai pertunjukan patriotik, produksi tersebut malah memicu gelombang kecaman karena animasi yang buruk, dugaan penggunaan aset stok berbiaya rendah, dan anggaran yang diklaim produsen mencapai 6,7 miliar rupiah. Kontroversi tersebut telah menyebar di media sosial, menarik tanggapan dari pejabat pemerintah, orang dalam industri, dan penonton di dalam maupun luar negeri.
Kemarahan Publik Terhadap Kualitas
Dari saat trailer untuk Merah Putih: Satu Untuk Semua memulai debut, platform daring penuh dengan reaksi negatif. Banyak penonton berpendapat bahwa animasi terlihat belum selesai tetapi tetap didorong untuk dirilis. Perbandingan tak terelakkan dengan karya animasi Indonesia lainnya seperti Jumbo, dipuji secara luas karena visual berkualitas tinggi. Kritikus menyoroti gerakan karakter yang kaku, irama adegan yang lambat, dan latar belakang yang tampak generik dan digunakan kembali.
Penonton di pemutaran awal melaporkan transisi adegan yang mengagetkan seperti presentasi PowerPoint. Mereka mencatat bahwa hingga 80 persen dari waktu berjalan terdiri dari pengambilan gambar dekat statis, mengurangi dinamika visual. Kualitas suara adalah poin lain yang kurang memuaskan, dengan suara yang digambarkan seperti tingkat amatir dan latar belakang musik yang hampir konstan tanpa jeda audio, memberikan film nuansa yang tidak halus.
Tuduhan tentang Aset Saham Murah
Kontroversi semakin dalam setelah pembuat konten YouTube mulai membedah elemen visual dari film tersebut. Saluran Yono Jambul mengklaim bahwa urutan jalan cocok dengan aset "Jalan Mumbai" yang tersedia di Daz3D. Beberapa karakter memiliki kemiripan mencolok dengan model jadi dari Reallusion dan pasar aset 3D lainnya, yang dijual dengan harga hanya beberapa puluh dolar. Temuan ini memicu perdebatan tentang etika produksi dan transparansi dalam alokasi anggaran.
Perselisihan Anggaran sebesar 6,7 Miliar Rupiah
Anggaran produksi itu sendiri menjadi titik panas. Produser eksekutif Sonny Pudjisasono menyatakan bahwa biaya pembuatan film tersebut sebesar 6,7 miliar rupiah. Namun, sutradara Endiarto mengatakan bahwa dia tidak tahu bagaimana anggaran dihitung atau didistribusikan. Ketidaksesuaian dalam pernyataan ini menimbulkan kecurigaan publik lebih lanjut tentang pengawasan keuangan, terutama untuk proyek yang membawa simbolisme nasional.
Klarifikasi Pemerintah
Di tengah spekulasi yang semakin meningkat, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif turun tangan. Wakil Menteri Irene Umar menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan dana atau dukungan promosi apa pun untuk proyek tersebut. Dia menjelaskan bahwa keterlibatan timnya terbatas pada memberikan umpan balik tentang alur cerita, visual, dan trailer selama pertemuan dengan kru produksi. Klarifikasi tersebut bertujuan untuk menepis rumor bahwa film tersebut didanai melalui dana publik.
Liputan Media Internasional
Kontroversi itu segera melintasi batas-batas negara. Media internasional, termasuk The Jakarta Post, menggambarkan insiden tersebut sebagai contoh kesenjangan antara niat nasionalis dan pelaksanaan kreatif. Bagi banyak pengamat di luar negeri, episode tersebut menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana simbol nasional dalam seni dapat berbalik jika produk akhirnya gagal memenuhi standar profesional dan kreatif.
Pelajaran untuk Industri Animasi Indonesia
The Merah Putih: Satu Untuk Semua kasus menawarkan pelajaran yang tajam untuk sektor kreatif Indonesia. Proyek yang mengusung tema patriotik menuntut standar produksi yang lebih tinggi dari rata-rata, transparansi anggaran yang ketat, dan komitmen nyata terhadap kualitas. Skala dan kecepatan reaksi publik menunjukkan bahwa penonton Indonesia menjadi lebih cerdas, terutama terhadap karya yang menganggap dirinya sebagai penghormatan nasional.
Temukan lebih banyak dari Berita Olam
Berlangganan untuk mendapatkan kiriman posting terbaru ke email Anda.