Inflasi pangan yang didorong oleh perubahan iklim sedang memasuki fase baru. Fenomena ini, yang dikenal sebagaiclimateflation, menyoroti hubungan langsung antara cuaca ekstrem, gagal panen, dan biaya pangan yang melonjak. Ketika kekeringan mengeringkan ladang, banjir menyapu bersih tanaman, atau gelombang panas membakar hasil panen, rantai pasokan runtuh dan harga melonjak. Ini tidak lagi sekadar konsep teoretis, melainkan kenyataan yang dirasakan oleh rumah tangga di seluruh dunia.
Definisi dan Konteks
IstilahclimateflationDipopulerkan oleh pejabat Bank Sentral Eropa Isabel Schnabel untuk menggambarkan inflasi yang berasal dari guncangan iklim. Tidak seperti inflasi tradisional yang dipengaruhi oleh faktor moneter atau energi, iklimflasi berasal dari instabilitas lingkungan dan gangguan ekosistem. Panen yang gagal menyebabkan kelangkaan, yang mendorong harga naik. Saat cuaca ekstrem semakin meningkat, guncangan seperti itu semakin sering dan semakin parah.
Gelombang panas musim panas Eropa 2022, terpanas sepanjang sejarah, menghancurkan lahan pertanian dan memicu inflasi pangan tertinggi dalam beberapa dekade. Spanyol, yang memasok hampir 45 persen minyak zaitun global, menyaksikan produksi anjlok, sehingga harga naik 25 persen. Peristiwa seperti ini telah meneguhkan perubahan iklim sebagai pendorong permanen terhadap dinamika harga pangan global.
Data Global dan Regional
A 2024AlamSebuah studi yang mencakup 121 negara menemukan bahwa suhu yang meningkat secara konsisten memicu inflasi harga pangan. Untuk setiap kenaikan satu derajat Celsius pada bulan-bulan yang sudah panas, inflasi pangan melonjak secara signifikan.
Eropa mengalami ini secara langsung. Pada akhir 2022 dan awal 2023, inflasi pangan melonjak hingga 19 persen, merupakan tingkat tertinggi dalam beberapa dekade. Namun, negara-negara berkembang paling terdampak. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2025, 76,5 persen negara berpendapatan rendah menghadapi inflasi pangan di atas 5 persen, dibandingkan dengan hanya 14,5 persen negara berpendapatan tinggi.
Etiopia dan Pakistan menggambarkan bagaimana bencana iklim menggandakan krisis. Kekeringan parah telah mendorong harga pangan di Ethiopia naik 40 persen. Banjir besar Pakistan pada tahun 2022 telah menghancurkan jutaan hektar lahan pertanian, sehingga inflasi pangan mendekati 50 persen pada tahun berikutnya.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Rumah tangga berpendapatan rendah menanggung beban utama inflasi akibat iklim. Ketika harga makanan dua kali lipat, keluarga sering beralih ke pola makan yang lebih murah dan kurang bergizi. Ini memicu kelaparan tersembunyi, di mana asupan kalori mungkin cukup, tetapi kualitas gizinya turun drastis. Para ahli memperingatkan bahwa hal ini dapat menyebabkan risiko kesehatan jangka panjang termasuk diabetes, kanker, dan penyakit kardiovaskular.
Kelaparan dan kemiskinan juga meningkat. Sejak 2020, gabungan dampak pandemi, konflik, dan guncangan iklim telah mendorong tambahan 122 juta orang ke dalam kerawanan pangan. FAO dan WFP kini menilai cuaca ekstrem bersama perang sebagai salah satu faktor pendorong kelaparan global teratas.
Secara politis, tingginya harga makanan sering memicu kerusuhan. Musim semi Arab tahun 2011, sebagian dipicu oleh melonjaknya harga roti, adalah pengingat yang jelas. Para analis memperingatkan bahwa inflasi akibat perubahan iklim bisa meningkatkan risiko pemberontakan serupa di seluruh dunia.
Bagi bank-bank sentral, climateflation menghadirkan dilema kebijakan. Kenaikan suku bunga tidak dapat memulihkan panen yang hilang. Pengetatan agresif berisiko menghambat pertumbuhan sementara harga pangan tetap tinggi. Beberapa ekonom menyarankan menaikkan target inflasi, dengan mengakui dunia di mana harga makanan yang stabil mungkin tidak lagi tercapai.
Komoditas Paling Terpengaruh
Beberapa komoditas utama sangat rentan terhadap inflasi akibat iklim:
- berasProduksi beras, yang memberi makan lebih dari separuh dunia, telah mengalami guncangan iklim berulang. Larangan ekspor India pada 2023, yang menyebut kerusakan panen akibat monsun yang tidak menentu, telah mendorong harga beras global ke level tertinggi sejak 2011.
- gandum: Gelombang panas yang mencetak rekor di India pada 2022 memusnahkan jutaan ton gandum, yang mendorong larangan ekspor yang masih mengguncang pasar global hingga hari ini.
- Jagung (jagung): Kemarau terburuk Argentina dalam 60 tahun (2022–2023) memangkas hasil panen hingga 40 persen, menyebabkan kenaikan biaya pakan global dan harga daging.
- kopi: Serangan ganda kekeringan dan embun beku di Brasil pada 2021–2022 mendorong harga kopi dunia naik sebesar 55 persen.
- kakao: Panas ekstrem dan kekeringan di Afrika Barat pada tahun 2024 menyusutkan pasokan, sehingga harga kakao naik hampir 300 persen.
- minyak nabati: Produksi minyak zaitun Spanyol runtuh akibat kekeringan, sementara larangan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mengguncang pasar minyak goreng global.
Selain hasil panen, perubahan iklim juga menurunkan nilai gizinya. Kadar CO₂ yang meningkat menurunkan kandungan protein dan mineral pada bahan pokok seperti beras dan gandum, memperburuk krisis dengan merusak kualitas gizi.
Solusi dan Adaptasi
Para ahli mengusulkan berbagai strategi untuk meredam inflasi akibat perubahan iklim:
- tanaman tahan terhadap perubahan iklim– Varietas padi, jagung, dan gandum yang tahan panas dan kekeringan sedang dikembangkan untuk melindungi hasil panen.
- Pertanian presisi– Penggunaan sensor, satelit, dan kecerdasan buatan meningkatkan irigasi, penggunaan pupuk, dan pengendalian hama.
- pertanian vertikal– Pertanian dengan lingkungan terkendali menyediakan pasokan makanan lokal yang terlindung dari guncangan iklim.
- Tindakan pemerintah– Spanyol menginvestasikan €2 miliar untuk infrastruktur air guna mendukung petani selama kekeringan.
- Koordinasi global– FAO dan Bank Dunia menekankan kerja sama internasional untuk menghindari larangan ekspor yang merugikan dan lonjakan harga yang dipicu oleh kepanikan.
Namun, adaptasi saja tidak cukup. Para ilmuwan menekankan bahwa hanya pemotongan emisi yang sangat dalam yang dapat mencegah inflasi terkait iklim terus melambung. Setiap pecahan derajat yang dihindari mengurangi tekanan harga pangan di masa depan.
Analisis Geopolitik
Iklim inflasi mengubah geopolitik. “Nasionalisme pangan” telah menjadi umum karena pemerintah membatasi ekspor untuk melindungi pasokan domestik. Hingga tahun 2023, setidaknya 20 negara telah memberlakukan larangan atau pembatasan ekspor. Meskipun secara politis menguntungkan, kebijakan semacam itu mengakibatkan destabilisasi pasar global dan membebani hubungan perdagangan.
Ketegangan diplomatik meningkat ketika negara-negara yang bergantung pada impor berebut pemasok baru. Perang Rusia-Ukraina menunjukkan betapa rapuhnya aliran gandum global. Klimainflasi dapat memperbesar ketegangan ini, berpotensi menjadikan perdagangan pangan sebagai senjata ketika negara-negara memanfaatkan kelangkaan untuk keuntungan geopolitik.
Sebaliknya, krisis ini juga bisa mendorong kerja sama. Beberapa ahli menyarankan sebuah “jaring pengaman pangan global” di mana negara-negara kaya membiayai skema asuransi bagi importir yang kurang mampu. Cadangan pangan yang terkoordinasi, mirip dengan cadangan minyak strategis, mungkin penting di masa depan yang terganggu oleh perubahan iklim.
Conclusion
Inflasi iklim sekarang menjadi pendorong yang tidak dapat disangkal bagi kerawanan pangan dan ketidakstabilan global. Ini tidak hanya tantangan lingkungan, tetapi juga ancaman ekonomi dan keamanan. Dari kekurangan beras di Asia hingga krisis minyak zaitun di Eropa, pola itu jelas: perubahan iklim menuliskan ulang aturan-aturan ekonomi pangan global.
Inovasi teknologi, kebijakan adaptif, dan solidaritas internasional sangat penting, tetapi tidak ada satu pun yang akan berhasil tanpa pemotongan emisi yang agresif. Seperti yang dinyatakan Profesor Elizabeth Robinson, “stabilitas harga pangan memerlukan stabilitas lingkungan.” Tanpa aksi terhadap perubahan iklim, makanan yang terjangkau dan andal akan tetap sulit dicapai.
Inflasi iklim adalah isu yang mendesak yang menuntut liputan terus-menerus. Bagi pembaca, ini menjelaskan mengapa biaya belanja bahan pokok terus meningkat meskipun tidak ada perang baru atau pandemi. Untuk pembuat kebijakan, ini adalah peringatan untuk mempersiapkan diri menghadapi krisis berikutnya sebelum krisis itu melanda.
Baca lebih lanjut tentangOlam Newsuntuk cerita terkait mengenai keamanan pangan, geopolitik iklim, dan ketahanan ekonomi global.
Temukan lebih banyak dari Berita Olam
Berlangganan untuk mendapatkan kiriman posting terbaru ke email Anda.