Pemerintah AS secara resmi akan memiliki saham sebesar 10 persen di Intel setelah Presiden Donald Trump menyetujui konversi hibah Chips Act menjadi ekuitas. Perjanjian yang belum pernah terjadi sebelumnya ini dianggap sebagai langkah untuk memperkuat industri semikonduktor nasional sekaligus memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan Intel saat berjuang melawan persaingan sengit dari Nvidia dan AMD.
Rincian Kesepakatan
Perjanjian tersebut melibatkan $8,9 miliar yang sebelumnya dialokasikan untuk Intel. Ini termasuk hibah sebesar $5,7 miliar dari Undang-Undang Chip dan Ilmu Pengetahuan serta tambahan $3,2 miliar dari program Secure Enclave. Alih-alih mendistribusikan dana secara tunai, pemerintah mengubahnya menjadi ekuitas dengan membeli 433,3 juta saham Intel seharga $20,47 per saham, harga yang lebih rendah dari penutupan pasar sekitar $24,80.
Saham yang dibeli oleh pemerintah AS bersifat pasif, artinya tidak akan ada kursi di dewan atau kendali operasional langsung. Namun, pemerintah tetap memiliki hak suara sebagai pemegang saham, dengan pengecualian terbatas seperti yang diuraikan dalam perjanjian.
Opsi Tambahan dan Strategi Jangka Panjang
Di bawah klausul tambahan, pemerintah memiliki opsi untuk membeli hingga 5 persen saham lagi jika Intel kehilangan kendali mayoritas atas unit pabriknya. Hak ini berlaku selama lima tahun dengan harga tetap sebesar $20 per saham. Klausul tersebut dirancang untuk memastikan perlindungan nasional terhadap potensi pengaruh asing di sektor yang dianggap penting bagi keamanan nasional.
Trump juga menekankan bahwa ini bukanlah langkah terakhir seperti itu. Dia berjanji untuk mengejar kesepakatan serupa dengan perusahaan teknologi lain untuk lebih memperkuat industri strategis Amerika. Pendekatan ini sejalan dengan kebijakan intervensi yang lebih luas, termasuk pembatasan ekspor chip AI ke China dan dorongan pemerintah untuk mendapatkan "saham emas" di U.S. Steel.
Dampak terhadap Intel dan Pasar Saham
Intel adalah pemenang langsung dalam kesepakatan ini. Dukungan pemerintah memberi sinyal kepada pasar bahwa perusahaan tetap menjadi pusat prioritas industri AS. Saham Intel melonjak antara 5 dan 6 persen setelah pengumuman.
Ibukota baru memberikan Intel sumber daya penting untuk mempercepat restrukturisasi unit pabriknya yang merugi. Perusahaan juga mendapatkan momentum untuk memperluas kapasitas produksi semikonduktor di AS, didukung oleh investasi luar lainnya seperti komitmen pendanaan sebesar $2 miliar dari SoftBank baru-baru ini.
Kritik dan Perdebatan
Kesepakatan itu memicu perdebatan politik yang tajam. Kritikus berpendapat bahwa hal itu mengaburkan garis antara prinsip pasar bebas dan intervensi pemerintah. Senator Rand Paul mengecam kesepakatan tersebut sebagai langkah menuju sosialisme industri. Sementara itu, anggota parlemen Demokrat dilaporkan sedang menyiapkan undang-undang yang bertujuan membatasi kewenangan eksekutif Trump atas kebijakan teknologi nasional.
Pendukung, bagaimanapun, berpendapat bahwa kesepakatan ini bersifat pragmatis mengingat krisis rantai pasokan chip global yang baru-baru ini mengganggu industri dari otomotif hingga pertahanan. Dengan memegang saham, pemerintah dianggap memastikan produksi semikonduktor di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada pemasok Asia.
Relevansi Global
Perjanjian Trump-Intel menandai titik balik dalam strategi industri AS, dengan keterlibatan negara yang lebih kuat dalam teknologi kritis. Di tengah meningkatnya persaingan teknologi dengan China, kepentingan langsung Washington terhadap Intel menegaskan tekadnya untuk memastikan dominasi dalam teknologi chip, yang mendukung kecerdasan buatan, kendaraan listrik, dan infrastruktur pertahanan.
Langkah ini juga mengirim pesan yang jelas kepada kedua belah pihak: sekutu dan lawan: AS siap menggunakan kepemilikan sebagai alat kebijakan. Efek riak mungkin mendorong negara lain untuk mengadopsi strategi serupa guna melindungi industri strategis mereka sendiri.
Temukan lebih banyak dari Berita Olam
Berlangganan untuk mendapatkan kiriman posting terbaru ke email Anda.