Ketegangan geopolitik di wilayah Himalaya telah kembali menarik perhatian global seiring dengan perkembangan politik dan militer yang mengungkap rapuhnya stabilitas regional. Himalaya bukan hanya rangkaian pegunungan tertinggi di dunia, tetapi juga garis depan di mana India, Cina, dan Pakistan bersaing memperebutkan pengaruh. Perselisihan perbatasan, proyek tenaga hidroelektrik, dan krisis di Kashmir menggambarkan bagaimana lanskap ini telah menjadi arena strategis yang membentuk keamanan Asia Selatan dan Indo-Pasifik.
Pertemuan tingkat tinggi antara menteri luar negeri India dan rekannya dari China di New Delhi pada Agustus 2025 menunjukkan upaya diplomasi yang terus berlangsung. India menekankan bahwa perdamaian perbatasan merupakan prasyarat bagi hubungan bilateral yang positif, sementara China menekankan pentingnya membangun kepercayaan melalui pertukaran budaya dan keagamaan. Meskipun gestur seperti itu, titik-titik konflik yang belum terselesaikan di sektor-sektor seperti Depsang dan Demchok terus memicu kecurigaan, yang mencerminkan ketegangan yang tetap melekat dalam hubungan bilateral.
Persaingan India-China telah berakar lama, bermula dari bentrokan mematikan di Lembah Galwan pada tahun 2020. Sebuah perjanjian patroli perbatasan pada tahun 2024 memungkinkan kedua pihak untuk melanjutkan pemantauan bersama di beberapa wilayah yang diperebutkan, secara singkat menimbulkan harapan akan deeskalasi. Namun India tetap waspada terhadap percepatan ekspansi infrastruktur militer China di Tibet, karena khawatir hal itu dapat mengubah keseimbangan kekuasaan di Himalaya.
Air sebagai senjata geopolitik
Melampaui sengketa wilayah, air telah muncul sebagai dimensi baru dalam geopolitik Himalaya. Konstruksi PLTA Medog yang sangat besar di Tibet telah menimbulkan keprihatinan di India dan Bangladesh hilir. Proyek ini bisa mengubah aliran Sungai Yarlung Tsangpo, yang kemudian menjadi Sungai Brahmaputra, sehingga jutaan orang berada dalam risiko terhadap gangguan ekologis, banjir, atau kekeringan.
India menuduh Beijing menahan data hidrologi yang penting, sehingga sulit bagi India untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana atau mengelola sumber daya secara adil. Banyak analis berpendapat bahwa air sedang dijadikan senjata sebagai alat tawar-menawar dalam politik bilateral. Ketiadaan kerangka kerja yang transparan memperburuk ketidakpercayaan, meninggalkan komunitas hilir rentan terhadap risiko lingkungan maupun geopolitik.
Krisis Kashmir dan persaingan India-Pakistan
Sementara India dan Tiongkok tetap terjebak dalam kebuntuan di ketinggian tinggi mereka, Pegunungan Himalaya juga menjadi panggung bagi persaingan India dengan Pakistan. Serangan mematikan terhadap wisatawan di wilayah Pahalgam Kashmir pada April 2025 telah memicu eskalasi baru. India menuduh kelompok militan yang memiliki kaitan dengan Pakistan dan merespons dengan menangguhkan Perjanjian Air Sungai Indus, sebuah perjanjian penting yang telah mengatur pembagian sungai selama beberapa dekade.
Pakistan membalas dengan uji coba rudal balistik pada Mei 2025, meningkatkan ketegangan. Setelah berminggu-minggu negosiasi, kedua negara sepakat untuk gencatan senjata, tetapi ketidakpercayaan masih berlanjut. India kemudian menggelar latihan pertahanan sipil berskala nasional yang besar, mensimulasikan kondisi perang di ratusan distrik. Latihan tersebut menunjukkan kesiapan New Delhi menghadapi skenario konflik, menyoroti betapa bergejolaknya situasi di Kashmir dan wilayah sekitarnya.
Sebuah keseimbangan regional yang rapuh
Secara geografis, Himalaya adalah rumah bagi Koridor Siliguri, yang sering digambarkan sebagai 'leher ayam' India. Jalur darat sempit ini menghubungkan daratan utama dengan negara bagian timur laut negara itu. Dalam keadaan konflik terbuka, kerentanan koridor itu menjadikannya perhatian strategis yang krusial, mendorong India untuk memperkuat pertahanannya di wilayah tersebut.
Para ahli memperingatkan bahwa Himalaya lebih dari sekadar gunung. Mereka adalah medan perang geopolitik di mana ambisi militer, persaingan sumber daya, dan perubahan iklim saling berpotongan. Mencairnya gletser, degradasi ekosistem, dan pergeseran aliran sungai dapat dengan mudah memicu krisis baru jika kerja sama tetap tidak ada. Kurangnya mekanisme krisis trilateral dan perjanjian pembagian air yang transparan membuat wilayah tersebut rentan terhadap kesalahan perhitungan dan eskalasi.
Lanskap geopolitik Himalaya kini menarik perhatian kekuatan besar. Bagi Asia Selatan, wilayah ini berfungsi sebagai barometer stabilitas yang akan membentuk masa depan keamanan dan pembangunan wilayahnya. Bagi dunia, hal ini mencerminkan persaingan yang lebih luas di Indo-Pasifik, di mana persaingan antara kekuatan besar, tekanan iklim, dan keluhan lokal bertemu.
Ketegangan geopolitik di Himalaya yang semakin meningkat menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan antara diplomasi dan konfrontasi. Sambil negosiasi berlanjut, bayangan konflik semakin membesar. Persaingan untuk pengaruh di wilayah ini tidak hanya akan menentukan masa depan India, China, dan Pakistan, tetapi juga arah keamanan global.
Pegunungan Himalaya mengingatkan kita bahwa perdamaian hanya dapat dipertahankan melalui transparansi, dialog, dan keberanian politik untuk menolak logika dominasi. Seiring berjalannya krisis, para pembaca yang tertarik memahami konteks regional yang lebih luas juga sebaiknya menjelajahi liputan kami mengenai gejolak politik yang sedang berlangsung di Nepal di Olam News.
Temukan lebih banyak dari Berita Olam
Berlangganan untuk mendapatkan kiriman posting terbaru ke email Anda.