Ekonomi Tiongkok menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang semakin jelas pada awal paruh kedua tahun 2025, menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan Beijing untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan tahunan sekitar 5 persen. Data resmi terbaru menunjukkan kelemahan di seluruh sektor utama, termasuk penjualan ritel, produksi industri, properti, dan pasar tenaga kerja, sementara tekanan eksternal dari tarif tinggi Amerika Serikat terus membebani ekspor. Situasi ini memicu seruan agar pemerintah meluncurkan langkah-langkah stimulus fiskal dan moneter yang lebih agresif.
Penjualan Ritel dan Produksi Industri Menurun
Pertumbuhan penjualan ritel pada Juli 2025 melambat menjadi 3,7 persen tahun-ke-tahun, turun dari 4,8 persen pada Juni. Produksi industri juga kehilangan momentum, hanya naik 5,7 persen — terlemah dalam delapan bulan — dibandingkan 6,6 persen bulan sebelumnya. Angka-angka ini menunjukkan bahwa konsumsi domestik dan produksi pabrik belum mampu memberikan dorongan yang berarti di tengah permintaan global yang lesu.
Kelemahan di sektor konsumen menjadi tantangan tersendiri bagi Beijing. Meskipun pemerintah telah mendorong pengeluaran rumah tangga melalui tukar tambah program untuk barang konsumen dan insentif untuk kredit konsumen, hasilnya sejauh ini tetap terbatas. Para ekonom percaya bahwa tanpa intervensi yang lebih substansial, sektor ritel akan kesulitan untuk kembali menjadi pendorong utama pertumbuhan.
Krisis properti membebani investasi
Sektor properti, yang telah lama menjadi pilar ekonomi Tiongkok, tetap berada di bawah tekanan yang berkelanjutan. Harga perumahan terus menurun, sementara aktivitas konstruksi melambat. Ini telah menekan investasi aset tetap. Mengingat kontribusinya yang signifikan terhadap PDB, krisis di sektor ini memerlukan langkah pemulihan yang terarah untuk mencegah ketidakstabilan keuangan yang lebih luas.
Kelemahan di bidang properti juga melemahkan efek pengganda pada industri lain, seperti bahan bangunan, furnitur, dan layanan terkait. Ini memperkuat perlambatan secara keseluruhan dan menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi pembuat kebijakan.
Pasar Tenaga Kerja Memburuk
Tingkat pengangguran perkotaan meningkat menjadi 5,2 persen pada Juli dari 5,0 persen bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut sebagian disebabkan oleh masuknya jutaan lulusan baru ke pasar kerja yang lesu. Ketidaksesuaian antara penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja berisiko memicu tekanan sosial dan politik jika tidak segera ditangani.
Pemerintah berusaha mengarahkan pekerja ke industri manufaktur berteknologi tinggi dan industri strategis lainnya. Namun, penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor ini belum mampu mengejar kerugian di industri tradisional seperti konstruksi dan layanan ritel.
Tekanan dari Tarif Amerika Serikat
Di atas tantangan domestik, China juga menghadapi hambatan eksternal yang besar. Tarif rata-rata yang dikenakan oleh Amerika Serikat pada impor dari Tiongkok saat ini sekitar 43,5 persen. Kebijakan ini mengikis daya saing barang-barang Tiongkok di pasar AS dan menurunkan ekspor.
Upaya eksportir untuk mengalihkan pengiriman melalui negara ketiga sedang terhambat oleh aturan yang lebih ketat dari Washington tentang pengangkutan ulang praktik. Rintangan ini semakin membatasi ruang untuk perdagangan luar negeri, yang telah lama menjadi pilar pertumbuhan China.
Tantangan Kebijakan dan Prospek
Sementara PDB China tumbuh 5,3 persen pada paruh pertama tahun 2025, mempertahankan momentum tersebut sepanjang sisa tahun akan menjadi tantangan besar. Sejauh ini, Beijing belum meluncurkan stimulus berskala besar, melainkan memilih langkah-langkah terbatas untuk menjaga stabilitas.
Para ekonom memperingatkan bahwa tanpa dukungan fiskal dan moneter yang signifikan, target pertumbuhan tahunan bisa terlewatkan. Mereka mendesak kebijakan yang lebih proaktif, termasuk pemotongan pajak, peningkatan pengeluaran infrastruktur, dan pelonggaran moneter yang terukur untuk menghidupkan kembali permintaan domestik.
Di tengah ketidakpastian global dan tekanan perdagangan, jalannya kebijakan ekonomi China dalam beberapa bulan mendatang akan menjadi kunci dalam menentukan apakah negara tersebut dapat mengatasi perlambatan ini dengan lancar. Pilihan yang dibuat Beijing akan menguji ketahanan ekonomi terbesar kedua di dunia dan membentuk posisinya dalam lanskap global yang semakin kompetitif.
Temukan lebih banyak dari Berita Olam
Berlangganan untuk mendapatkan kiriman posting terbaru ke email Anda.