Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah merilis sebuah laporan baru yang menyoroti peran kecerdasan buatan dalam membentuk ulang perdagangan internasional. Organisasi memproyeksikan bahwa AI dapat mendorong nilai perdagangan global naik sebesar 34 hingga 37 persen dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia sekitar 12 hingga 13 persen pada tahun 2040. Angka-angka ini menempatkan AI sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade mendatang.
Laporan tersebut menekankan efisiensi yang dibawa AI ke rantai pasokan, operasi bea cukai, dan layanan digital lintas batas. WTO menekankan bahwa biaya operasional yang lebih rendah dan proses perdagangan yang lebih cepat akan membuka akses pasar yang lebih luas. Efek yang paling signifikan diperkirakan akan terjadi pada layanan digital, yang dapat berkembang sekitar 42 persen, termasuk layanan berbasis AI itu sendiri.
Namun, WTO juga memperingatkan risiko jika infrastruktur digital tetap tidak merata. Negara berpendapatan rendah berisiko tertinggal karena teknologi yang terbatas, regulasi, dan akses terhadap sumber daya. Dalam skenario dasar, negara-negara maju dapat menikmati kenaikan pendapatan riil hingga 14 persen, sedangkan negara-negara berpendapatan rendah hanya sekitar 8 persen. Namun jika infrastruktur digital membaik, kesenjangan ini dapat menyempit secara signifikan, memberikan keuntungan yang hampir setara di berbagai negara.
Potensi Dampak terhadap Perdagangan Global
AI diharapkan dapat mengurangi hambatan bahasa dan mempercepat integrasi pasar. Penerjemahan otomatis dan agen percakapan membuka jalur baru bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk memasuki pasar internasional tanpa biaya yang berlebihan. WTO menyoroti bahwa UMKM akan paling diuntungkan, dengan akses yang lebih mudah ke pelanggan global.
AI juga memberikan dorongan produktivitas yang kuat. Analisis menunjukkan bahwa AI dapat meningkatkan efisiensi dalam layanan pelanggan, konsultansi manajemen, dan pengembangan perangkat lunak. WTO bahkan memprediksi kontribusi AI terhadap pertumbuhan produktivitas global dapat mencapai 0,68 poin persentase per tahun dalam skenario optimis.
Untuk pasar tenaga kerja, WTO menyatakan bahwa upah riil secara luas akan naik, tetapi premi keterampilan diperkirakan menurun sebesar 3 hingga 4 persen. Hal ini terjadi karena banyak tugas dengan tingkat keterampilan menengah hingga tinggi yang dapat diotomatisasi oleh AI, sedangkan pekerjaan dengan keterampilan rendah relatif kurang terpengaruh. Imbal hasil atas modal diperkirakan akan meningkat 14 poin persentase lebih tinggi daripada upah, karena AI bersifat intensif modal dan mendorong permintaan investasi yang kuat.
Risiko dan Tantangan
WTO menyoroti kesenjangan digital sebagai risiko terbesar. Daya komputasi, tenaga kerja terampil, perangkat keras, dan kesiapan regulasi tetap terkonsentrasi di sejumlah kecil negara. Tanpa kebijakan inklusif dan investasi yang lebih luas, manfaat AI akan tetap terkunci di negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan besar.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa aturan perdagangan yang terfragmentasi merupakan ancaman lain. Kebijakan yang beragam seperti tarif, kontrol ekspor, dan undang-undang lokalisasi data dapat memperlambat adopsi AI secara global. Disrupsi pasar tenaga kerja menambah tantangan, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor layanan bernilai tinggi seperti penerjemahan atau transkripsi.
WTO mengimbau negara-negara anggota untuk menjaga perdagangan tetap terbuka dan memperbarui aturan yang relevan dengan ekonomi digital. Investasi dalam infrastruktur digital dan energi bersih juga sangat penting untuk mendukung perluasan pusat data. Organisasi tersebut menyerukan kerja sama internasional yang lebih mendalam untuk menyelaraskan standar dan memperkuat kapasitas di negara-negara berpendapatan rendah.
Reaksi Global dan Perspektif Global
Media internasional seperti Reuters dan Financial Times telah menekankan baik potensi maupun risiko dalam proyeksi WTO. Banyak ekonom berpendapat AI bisa menjadi pendorong pertumbuhan terbesar sejak revolusi digital, sambil menekankan perlunya kebijakan inklusif agar manfaatnya tidak terbatas pada negara kaya.
Yayasan Rockefeller telah meluncurkan inisiatif senilai 50 juta dolar AS untuk memperkuat kerja sama internasional dalam menghadapi tantangan teknologi global, termasuk adopsi AI. Survei mereka menunjukkan dukungan publik yang kuat terhadap kerja sama global, tetapi juga mengungkapkan kepercayaan yang rapuh terhadap sistem multilateral.
Secara regional, Uni Eropa telah mulai membahas regulasi perdagangan yang lebih ketat terhadap teknologi-teknologi canggih. Sementara itu, negara-negara berkembang terus menuntut akses yang lebih besar terhadap infrastruktur digital dan sumber daya AI.
Perspektif penutup menguatkan isu utama: AI dipandang sebagai peluang besar bagi perdagangan global dan tantangan serius bagi kesetaraan ekonomi di seluruh dunia. Pembaca yang tertarik untuk memahami lebih lanjut tentang kebijakan ekonomi digital didorong untuk menjelajahi artikel terkait di Olam News yang membahas strategi AI dalam keuangan global dan logistik.
Temukan lebih banyak dari Berita Olam
Berlangganan untuk mendapatkan kiriman posting terbaru ke email Anda.