China semakin menegaskan posisinya sebagai pemimpin global dalam energi hijau. Dalam beberapa tahun terakhir, negara ini telah mencapai pertumbuhan luar biasa dalam energi terbarukan, melampaui kapasitas gabungan negara-negara lain. Pemasangan kapasitas tenaga surya dan angin pada tahun 2024 tidak hanya memecahkan rekor, tetapi juga melampaui sasaran yang sebelumnya ditetapkan untuk 2030. Prestasi ini menandai tonggak penting dalam transisi energi global dan memperkuat pengaruh ekonomi dan geopolitik China di tengah persaingan internasional yang semakin intens.
Beijing telah berhasil membangun sebuah strategi besar yang mendorong investasi masif dalam energi bersih. Sepanjang tahun 2024, China menambahkan 333 gigawatt tenaga surya dan hampir 80 gigawatt tenaga angin, sehingga total kapasitas gabungan menjadi lebih dari 1.400 gigawatt. Angka-angka ini tidak hanya mencetak rekor baru, tetapi juga menunjukkan laju transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dominasi China di sektor ini menegaskan komitmennya yang serius untuk memastikan posisi strategis dalam masa depan energi global.
Kebijakan Presiden Xi Jinping yang mendorong elektrifikasi berskala besar selama satu dekade terakhir telah menjadi faktor utama di balik lonjakan ini. Pembangunan jaringan transmisi tegangan ultra-tinggi, subsidi yang besar, dan fokus yang kuat pada penelitian dan pengembangan telah menjadikan China tidak hanya sebagai konsumen energi terbarukan terbesar, tetapi juga produsen utama teknologi-teknologi yang mendukung transisi energi global. Perusahaan domestik kini menguasai sekitar 80 persen pasar polisilikon global, komponen penting dari panel surya, dan telah mengembangkan turbin angin lepas pantai dengan kapasitas 20 megawatt, yang terbesar di dunia.
Skala Investasi dan Dampak Ekonomi
Investasi di sektor energi bersih mencapai lebih dari 625 miliar dolar AS pada tahun 2024. Energi hijau telah berkontribusi lebih dari sepuluh persen terhadap PDB China, melampaui sektor real estat yang dulu dominan. Perubahan ini tidak hanya merombak struktur ekonomi domestik, tetapi juga menempatkan energi bersih sebagai mesin pertumbuhan baru yang menopang stabilitas nasional.
Di bidang perdagangan, ekspor energi bersih China bernilai lebih dari 177 miliar dolar AS pada tahun lalu. Panel surya, baterai, kendaraan listrik, dan turbin angin menjadi komoditas ekspor utama, memperluas pengaruh China di berbagai pasar internasional. Dominasi ini telah menciptakan ketergantungan global terhadap manufaktur China, sehingga banyak negara mengalami kesulitan bersaing karena perbedaan biaya produksi yang sangat besar. Keunggulan biaya berasal dari skala yang sangat besar dan rantai pasokan yang hampir sepenuhnya terkonsolidasi di Cina.
Namun, pertumbuhan yang cepat juga membawa risiko. Pada kuartal pertama tahun 2025, beberapa perusahaan surya besar melaporkan kerugian miliaran dolar akibat kelebihan kapasitas yang parah. Produksi mencapai 588 gigawatt, sementara permintaan global hanya sekitar 451 gigawatt. Ketidakseimbangan ini menekan harga dan mendorong tingkat pemanfaatan menjadi sedikit lebih dari 50 persen. Pemerintah telah campur tangan untuk menata ulang pasar, memerintahkan perusahaan untuk membatasi ekspansi guna menghindari gelembung ekonomi baru.
Tantangan Batubara dan Konsistensi Iklim
Meskipun prestasi-prestasi yang mengesankan dalam energi hijau, Tiongkok masih menghadapi dilema serius mengenai batu bara. Pada 2024, negara tersebut memulai pembangunan lebih dari 90 gigawatt pembangkit listrik tenaga batu bara baru. Produksi batu bara mencapai rekor 4,8 miliar ton, peningkatan tajam dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. Hal ini memicu kritik internasional, karena tampaknya bertentangan dengan komitmen iklim yang telah dinyatakan Beijing di panggung dunia.
Pejabat China berpendapat bahwa langkah-langkah ini diperlukan untuk memastikan keamanan energi. Permintaan listrik yang meningkat, terutama dari ekonomi digital yang mencakup pusat data dan kecerdasan buatan, memerlukan pasokan listrik yang stabil. Pemerintah telah berjanji untuk membatasi pertumbuhan batu bara secara bertahap mulai tahun 2026, dengan pengurangan yang signifikan diharapkan sebelum 2030. Namun para pengamat lingkungan berpendapat bahwa upaya seperti itu masih terlalu lambat mengingat urgensi krisis iklim.
Masalah mendesak lainnya adalah integrasi energi terbarukan ke dalam jaringan listrik. Sementara kapasitas tenaga surya dan angin telah melonjak, kemampuan sistem untuk menyerap dan mendistribusikan listrik tetap terbatas. Hal ini telah menyebabkan pembatasan produksi energi terbarukan, di mana energi terbarukan tidak dimanfaatkan karena kendala infrastruktur. Pemerintah saat ini sedang mempercepat pembangunan fasilitas penyimpanan energi berskala besar dan memperluas jaringan lintas regional untuk mengurangi ketidakefisienan tersebut.
Implikasi Global dan Geopolitik
Keberhasilan China dalam mendominasi energi hijau membawa konsekuensi global yang mendalam. Negara ini tidak hanya menjadi pemasok terkemuka teknologi energi bersih, tetapi juga memperluas pengaruhnya melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan. Dengan berinvestasi dalam proyek energi terbarukan di luar negeri, Beijing telah menempatkan dirinya sebagai mitra strategis sekaligus influencer politik. Hal ini memperkuat peran China dalam diplomasi iklim, terutama menjelang pertemuan puncak global seperti COP30.
Dominasi China juga menghadirkan tantangan besar bagi negara-negara Barat. Amerika Serikat dan Uni Eropa telah merespons dengan subsidi dan tarif atas impor, tetapi mereka terus berjuang melawan keunggulan biaya China dan skala produksi China. Hal ini telah memicu perdebatan yang semakin berkembang mengenai perdagangan energi hijau, menimbulkan kekhawatiran akan perang dagang baru yang berpusat pada teknologi transisi energi. Ini juga menyoroti kebutuhan akan rantai pasokan global yang terdiversifikasi untuk menghindari ketergantungan berlebihan pada satu negara.
Bagi banyak negara berkembang, kepemimpinan China dalam energi hijau menghadirkan peluang serta risiko. Di satu sisi, akses terhadap teknologi terbarukan yang terjangkau mempercepat transisi energi mereka. Di sisi lain, ketergantungan berlebihan pada produk Cina dapat merusak kedaulatan energi nasional. Paradoks ini akan tetap menjadi titik fokus perdebatan di forum ekonomi dan politik di seluruh dunia pada tahun-tahun mendatang.
China kini berada di persimpangan yang sangat penting. Di satu sisi, prestasi spektakulernya dalam energi terbarukan memperkokoh perannya sebagai pemimpin global transisi energi. Di sisi lain, ketergantungan yang berkelanjutan pada batubara dan ketidakseimbangan pasar domestik mengungkap kontradiksi yang sulit didamaikan. Dunia akan mengamati dengan seksama bagaimana Beijing menyeimbangkan ambisi energi bersihnya dengan kenyataan permintaan domestik. Untuk mengeksplorasi lebih lanjut mengenai geopolitik energi dan dampaknya terhadap ekonomi global, pembaca didorong untuk melanjutkan membaca artikel terkait di Olam News yang membahas persimpangan krisis energi dan dinamika perdagangan internasional.
Temukan lebih banyak dari Berita Olam
Berlangganan untuk mendapatkan kiriman posting terbaru ke email Anda.